Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 8
00.10.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 6 Comments »
Hari itu adalah hari minggu. Pasar tidak terlihat
ramai, karena besok nya lah hari pekan disana. Aku masih di bangku kayu tadi,
membaca sebuah novel. Tidak ada Koran, baik di kedai kopi ataupun di agen Koran
terdekat. Disana Koran bisa didapat setelah siang hari, kira-kira pukul
setengah satu. Karena Koran-koran disana dibawa dari Kota Medan dan sebagian
lagi dari Padangsidimpuan.
Belum satu pun bus yang mulai bergerak, semua sopir asyik mengobrol. padahal satu persatu penumpang mulai berdatangan. Ada yang mengambil tempat duduk disampingku, di dalam bus, ada juga yang memilih berdiri didekat barang bawaannya. Tapi setelah kuperhatikan dari semua penumpang ini tidak ada wajah yang aku kenal. Semua wajah-wajah baru di mataku. Kecuali satu, seorang anak muda bercelana jeans biru, mengenakan kaos oblong hijau muda dan topi hitam sport. Bodynya terlihat padat saat dibungkus kaos yang cukup ketat itu yang sebetulnya badan nya biasa-biasa saja, bisa dibilang badanku masih sama besar dengan dia. dia sedang berbicara dengan seorang sopir di pintu kedai. Tapi dia tidak tahu kalau aku memperhatikan dia. Mukanya bolak-balik dari bus ke penumpang, aku tahu apa yang ia bicarakan. Dia menyuruh sopir tadi menghidupkan mesin bus nya agar segera berangkat.
Sengaja kupantulkan pandangan ke muka nya, namun aku tidak berhasil mendapatkan hidung mancung dan mata cokelatnya. Aku baru bisa menyita perhatiannya setelah mengeluarkan satu kata.
“Arman” begitu aku memanggilnya, sebenarnya itu bukan panggilan yang bagus karena itu bukanlah nama dia melainkan nama Ayah nya. Tapi panggilan seperti itu merupakan kebiasaan buruk kami waktu masih duduk di bangku Tsanawiyah. Waktu tsanawiyah, kami, ada empat orang yang berteman akrab, semuanya tidak ada yang betul. Maksud ku sedikit aneh. bukan memanggil nama aslinya malah menyebut nama ayah nya masing-masing. Untungnya tidak satu pun diantara kami yang emosian atau keberatan dengan cara konyol itu, dan syukur alhamdulilah dikala itu kami semua masih punya kedua orang tua. Dan Alhamdulilah lagi sampai sekarang masih dipanjangkan umurnya. Anak muda ini, namanya Ikhsan, teman sejati waktu di pondok dulu. Bermain bersama, pulang kampung bersama, memasak bersama, makan bersama sampai tidur bersama. Karena kami tinggal di satu pondok. Dan dua teman akrab kami lainnya adalah Akhir dan Lukman, mereka juga tinggal satu pondok. Bertetangga dengan kami. Kampung kami juga bertetangga. Kampungku, Desa Tanjung. sedangkan Ikhsan, Akhir, dan Lukman mereka bertiga sekampung, di Desa yang banyak jembatannya, Desa Kutarimbaru.
Belum satu pun bus yang mulai bergerak, semua sopir asyik mengobrol. padahal satu persatu penumpang mulai berdatangan. Ada yang mengambil tempat duduk disampingku, di dalam bus, ada juga yang memilih berdiri didekat barang bawaannya. Tapi setelah kuperhatikan dari semua penumpang ini tidak ada wajah yang aku kenal. Semua wajah-wajah baru di mataku. Kecuali satu, seorang anak muda bercelana jeans biru, mengenakan kaos oblong hijau muda dan topi hitam sport. Bodynya terlihat padat saat dibungkus kaos yang cukup ketat itu yang sebetulnya badan nya biasa-biasa saja, bisa dibilang badanku masih sama besar dengan dia. dia sedang berbicara dengan seorang sopir di pintu kedai. Tapi dia tidak tahu kalau aku memperhatikan dia. Mukanya bolak-balik dari bus ke penumpang, aku tahu apa yang ia bicarakan. Dia menyuruh sopir tadi menghidupkan mesin bus nya agar segera berangkat.
Sengaja kupantulkan pandangan ke muka nya, namun aku tidak berhasil mendapatkan hidung mancung dan mata cokelatnya. Aku baru bisa menyita perhatiannya setelah mengeluarkan satu kata.
“Arman” begitu aku memanggilnya, sebenarnya itu bukan panggilan yang bagus karena itu bukanlah nama dia melainkan nama Ayah nya. Tapi panggilan seperti itu merupakan kebiasaan buruk kami waktu masih duduk di bangku Tsanawiyah. Waktu tsanawiyah, kami, ada empat orang yang berteman akrab, semuanya tidak ada yang betul. Maksud ku sedikit aneh. bukan memanggil nama aslinya malah menyebut nama ayah nya masing-masing. Untungnya tidak satu pun diantara kami yang emosian atau keberatan dengan cara konyol itu, dan syukur alhamdulilah dikala itu kami semua masih punya kedua orang tua. Dan Alhamdulilah lagi sampai sekarang masih dipanjangkan umurnya. Anak muda ini, namanya Ikhsan, teman sejati waktu di pondok dulu. Bermain bersama, pulang kampung bersama, memasak bersama, makan bersama sampai tidur bersama. Karena kami tinggal di satu pondok. Dan dua teman akrab kami lainnya adalah Akhir dan Lukman, mereka juga tinggal satu pondok. Bertetangga dengan kami. Kampung kami juga bertetangga. Kampungku, Desa Tanjung. sedangkan Ikhsan, Akhir, dan Lukman mereka bertiga sekampung, di Desa yang banyak jembatannya, Desa Kutarimbaru.
teringat ke pondok dulu, kami masing-masing punya
hoby yang aneh. Aku, bila jam belajar malam kosong, alias harus belajar sendiri
dipondok, aku malah lebih suka menangkap ikan ke kali di belakang pemondokan,
dan jelas aku melibatkan si Ikhsan. Dia lah yang jadi asisten setiaku memegangi
toples sebagai tempat hasil tangkapanku. Dan kedua teman kami, Akhir dan Lukman
yang akan jadi kokinya. Ikhsan, hoby nya tidak begitu popular, mengambil
kelapa. yang muda dan matang sama saja, dia buta warna soal kelapa. Karna dia
selalu beraksi ditengah malam, biasanya aksi ini berlaku setelah pulang sekolah
malam. Trus si Lukman siap jadi pemantau situasi berbahaya itu, dia harus benar-benar
waspada dan hati-hati mengawasi sekitarnya. Kalau tidak, besok paginya mereka akan naik panggung saat
berbaris di depan sekolah. di depan semua santri dan santriwati. bila selamat,
kelapa itu kami pergunakan untuk keperluan dapur. Nah, si Akhir dan Lukman hoby
nya sama, memasak. walau agak feminim tapi mereka masih termasuk laki-laki yang
badannya kekar, kata orang cuma beda tipis sama Arnold Scwerzeneigerd. Dan mereka
juga tidak peduli soal kapan waktu yang tepat untuk hoby mereka ini. Jika salah
satu diantara kami ada yang lapar, sekalipun tengah malam, sekali pun kami juga
bisa memasak. kalau sudah diminta, salah
satu dari mereka akan siap mengabulkan permintaan itu. tapi ini lebih sering
tengah malam, saat semua santri sedang lelap dalam tidurnya. dan jelas sekali
semua kegilaan itu tanpa sepengetahuan yang bertugas. Luar biasa masa-masa itu.
Aku melihat mukanya heran bercampur kaget, alisnya turun menutupi sebagian pandangannya, dahi berkeriput, bergelombang bagai symbol air dalam peta. Dia sedang berusaha mengingat wajahku. Wajah yang berubah dari bulat ke lonjong, dari rambut pirang ke hitam. Dia mendekat menempelkan jemari nya diatas dahi, otaknya sedang meraba-raba potret wajah yang memanggilnya. Dia masih bingung, aku diam saja. ku biarkan dia berusaha mengingatku.
Aku melihat mukanya heran bercampur kaget, alisnya turun menutupi sebagian pandangannya, dahi berkeriput, bergelombang bagai symbol air dalam peta. Dia sedang berusaha mengingat wajahku. Wajah yang berubah dari bulat ke lonjong, dari rambut pirang ke hitam. Dia mendekat menempelkan jemari nya diatas dahi, otaknya sedang meraba-raba potret wajah yang memanggilnya. Dia masih bingung, aku diam saja. ku biarkan dia berusaha mengingatku.
“Anju..Kaukah itu?”
Tanya dia lalu duduk di ujung bangku.
“Iya, ini aku, apa yang kau lakukan disini?” kami saling bertatapan.
“beginilah kawan, aku bekerja disini” jawabnya dengan tersenyum.
“maksudmu jadi kernet?”
“dulunya, tapi sekarang aku sudah bisa menyetir. Aku mengemudikan angkot yang disana” telunjuknya mengarah ke sebuah angkot berwarna merah putih yang parkir paling depan.
“kalau kau bagaimana?” masih suaranya.
“aku dari Medan”
“apa kalian libur? Bagaimana rasanya kuliah itu kawan?”
“sama seperti ketika kita pernah menjadi siswa, namun disini kamu akan diberi nama yang pertanggung jawabannya amat besar dan itulah yang akan membuatmu berusaha menjadi yang terbaik dan membuatmu berbeda dengan siswa” begitu penjelasanku padanya, aku yakin dari kata-kata ku itu lebih banyak yang ia pahami dari pada tidak. Trus ku sambung lagi.
“semua hal harus kita kuasai, sekecil dan se sepele apa pun masalahnya jika kita tidak ingin nama itu tidak pantas disematkan didada kita.”
“sepertinya itu terdengar sulit”
“tidak ada yang sulit jika bersungguh-sungguh”
“lalu bagaimana denganmu? Kamu menikmatinya?”
“walau tidak menikmati, paling tidak aku menjalaninya dengan semangat yang aku punya.”
“tapi bagaimana caranya aku bisa semangat, jika keadaannya seperti ini?” Tanya dia seperti mengeluh.
“bayangkan setelah keadaan ini kamu akan mendapatkan keindahan, kamu tanam satu mimpi, kamu buat target. Bayangkan kamu sedang lari marathon, di depan sana ada hadiah dan piala, kamu harus mendapatkannya. Tapi ingat disampingmu juga banyak orang yang ingin mendapatkan nya, berusahalah sekuat tenaga agar hadiah dan piala itu sampai di tanganmu walau begitu lelah dan menyakitkan.” Kataku penuh sastra.
“sebenarnya aku ingin sepertimu, namun dulu orang tua tidak sanggup karena harus menyekolahkan adik-adikku”
“aku yakin kamu tidak lupa dengan beberapa potongan hadist tentang menuntut ilmu, waktu di pondok kamu sering membacanya”
“iya, tapi apa disana ada juga mahasiswa yang seusia kita di tingkat pertama?”
“jangankan seusia, dua tiga tahun lebih tua dari kita bahkan sudah punya anak tapi semangat mereka lebih muda dari usia nya. Ingat, jika ada semangat dan kesungguhan, jalan terbentang luas di depanmu”
“rasanya waktu ini belum cukup, masih banyak yang ingin kutanyakan padamu kawan. Kapan kau pulang ke Medan?”
“insya Allah awal bulan depan”
“berarti selama dua minggu ke depan kamu ada di Tanjung?”
“insya Allah, datang saja kapan kamu bisa, tapi saranku datanglah malam hari. Mungkin kalau siang aku tidak di rumah”
“baiklah, rencana ku seperti itu. Kalau begitu kita berangkat?” dia berjalan menuju angkot.
“apa sewamu sudah cukup? Tunggulah lima menit lagi. Mungkin masih ada sewa yang mau menumpangi angkot baru mu ini” puji ku menyemangatkan dia.
sudah empat menit mesin dinyalakan, namun sewa angkot belum juga bertambah. Ibu-ibu di sudah komplein karena tidak tahan dengan pengap dan gerah nya di dalam. Tampaknya Ikhsan tidak tahan dengan ocehan ibu-ibu tadi. Aku yang sejak tadi duduk disampingnya ingin ketawa melihat nya.
(bersambung ke hal 9)
“Iya, ini aku, apa yang kau lakukan disini?” kami saling bertatapan.
“beginilah kawan, aku bekerja disini” jawabnya dengan tersenyum.
“maksudmu jadi kernet?”
“dulunya, tapi sekarang aku sudah bisa menyetir. Aku mengemudikan angkot yang disana” telunjuknya mengarah ke sebuah angkot berwarna merah putih yang parkir paling depan.
“kalau kau bagaimana?” masih suaranya.
“aku dari Medan”
“apa kalian libur? Bagaimana rasanya kuliah itu kawan?”
“sama seperti ketika kita pernah menjadi siswa, namun disini kamu akan diberi nama yang pertanggung jawabannya amat besar dan itulah yang akan membuatmu berusaha menjadi yang terbaik dan membuatmu berbeda dengan siswa” begitu penjelasanku padanya, aku yakin dari kata-kata ku itu lebih banyak yang ia pahami dari pada tidak. Trus ku sambung lagi.
“semua hal harus kita kuasai, sekecil dan se sepele apa pun masalahnya jika kita tidak ingin nama itu tidak pantas disematkan didada kita.”
“sepertinya itu terdengar sulit”
“tidak ada yang sulit jika bersungguh-sungguh”
“lalu bagaimana denganmu? Kamu menikmatinya?”
“walau tidak menikmati, paling tidak aku menjalaninya dengan semangat yang aku punya.”
“tapi bagaimana caranya aku bisa semangat, jika keadaannya seperti ini?” Tanya dia seperti mengeluh.
“bayangkan setelah keadaan ini kamu akan mendapatkan keindahan, kamu tanam satu mimpi, kamu buat target. Bayangkan kamu sedang lari marathon, di depan sana ada hadiah dan piala, kamu harus mendapatkannya. Tapi ingat disampingmu juga banyak orang yang ingin mendapatkan nya, berusahalah sekuat tenaga agar hadiah dan piala itu sampai di tanganmu walau begitu lelah dan menyakitkan.” Kataku penuh sastra.
“sebenarnya aku ingin sepertimu, namun dulu orang tua tidak sanggup karena harus menyekolahkan adik-adikku”
“aku yakin kamu tidak lupa dengan beberapa potongan hadist tentang menuntut ilmu, waktu di pondok kamu sering membacanya”
“iya, tapi apa disana ada juga mahasiswa yang seusia kita di tingkat pertama?”
“jangankan seusia, dua tiga tahun lebih tua dari kita bahkan sudah punya anak tapi semangat mereka lebih muda dari usia nya. Ingat, jika ada semangat dan kesungguhan, jalan terbentang luas di depanmu”
“rasanya waktu ini belum cukup, masih banyak yang ingin kutanyakan padamu kawan. Kapan kau pulang ke Medan?”
“insya Allah awal bulan depan”
“berarti selama dua minggu ke depan kamu ada di Tanjung?”
“insya Allah, datang saja kapan kamu bisa, tapi saranku datanglah malam hari. Mungkin kalau siang aku tidak di rumah”
“baiklah, rencana ku seperti itu. Kalau begitu kita berangkat?” dia berjalan menuju angkot.
“apa sewamu sudah cukup? Tunggulah lima menit lagi. Mungkin masih ada sewa yang mau menumpangi angkot baru mu ini” puji ku menyemangatkan dia.
sudah empat menit mesin dinyalakan, namun sewa angkot belum juga bertambah. Ibu-ibu di sudah komplein karena tidak tahan dengan pengap dan gerah nya di dalam. Tampaknya Ikhsan tidak tahan dengan ocehan ibu-ibu tadi. Aku yang sejak tadi duduk disampingnya ingin ketawa melihat nya.
(bersambung ke hal 9)