Noto hal 8
03.54.00 Edit This
Tadi
pagi aku menghabiskan jualanku dalam waktu yang cukup singkat, tidak sampai
satu jam, ku mulai dari pukul 06:30 s/d 07:20. Dan aku sudah sampai dirumah
pukul 07:35, tanpa banyak menunggu waktu aku langsung menyetor dan menambah
jualan ku lagi. Alhamdulilah hari ini aku dapat menjual sebanyak 27 bungkus.
Aku hanya kekurangan pelanggan, jika saja aku punya 40 atau 50 pelanggan, itu
sudah cukup untuk biaya hidupku. Tapi sampai saat ini baru ada 6 pelanggan.
Aku
yakin apa yang sedang ku pikirkan sekarang ini dan apa yang sedang jadi kabut
dalam fikiranku akan terbongkar secepatnya. Hanya saja waktu belum berkata
jujur kepada mereka. Dan pantas jika aku malas atau tidak ingin berpartisipasi
dalam acara kedaerahan yang di ketua abangku itu. Dia memang cerdas dan bijak,
tapi itu takkan menutupi cerita lama kalau beliau juga pernah jadi pembangkang,
sering bolos dan berkeliaran di lingkungan yang kurang baik. Itu dulu, dan yang
terjadi padanya baru datang padaku sekarang, saat semua orang berharap dan beranggapan
apa yang aku lakukan masih baik, ternyata apa penilaian dari mereka salah, aku
lalai dan buruk.
Kamu
hilir mudik di bawah alis mataku, mengharap sedikit lirikan dan ucapan selamat
malam. Aku tak melakukan itu, yang kulakukan sekarang adalah mengingat
lirik-lirik lagu dan kord yang terlupakan akibat dulu aku selalu
mementingkanmu. Kini aku butuh lirik-lirik itu dan berharap bisa kudendangkan
di bawah pohon ini.
(26 November 2011, Jam
11:07)
Pukul
setengah lima pagi ini aku bangun. Sesuai dengan permintaan bang ewin, aku
membangunkannya. Selesai mandi, sholat subuh, dan ganti pakaian aku pun balik
ke rumah agar aku bisa jualan sepagi mungkin. Tapi apa yang aku harap dan
kukejar batal karena mesin di industry home rusak. Aku tidur lagi sampai pukul
08:00. Kemudian aku beranjak ke Kampung Durian dan mendapati Ruslan di rumah,
sedang bang ewin sudah berangkat ke Jakarta. Kami di kasih 25 ribu-25 ribu.
Pukul 09 kami berangkat ke belawan, ke rumah bang Sahruddin, abang yang
pernah tinggal di masjid sekitar tahun 90 an. Sepulangnya kami jalan-jalan ke
pantai, masih di belawan. Karna kurang puas kami menuju Pantai Labu Deli
Serdang, tanpa tau jalan dan tempat pasti nya pantai yang mau kami tuju itu
kami tetap nekat.
sampai
disana, awalnya kami ke Ancol Indah, tempat wisata yang tertinggal dan tak
terurus. Yang ada disana hanya sekumpulan patung-patung binatang darat dan
laut, dan rentangan jembatan berdiameter 120 M. kami naik ke jembatan yang
mulai lapuk itu dengan ongkos sewa empat ribu rupiah. Seterusnya kalau tidak
salah nama pantai yang kami masuki itu Pantai Baru, pengunjungnya lumayan
ramai, dan pemandangan pantainya juga cukup indah. Tapi sepulang dari sana kami
kelelahan dan berdebu.
(27 November 2011, Jam
19:34)
Tadi
pagi, pas aku lagi jualan keliling tiba-tiba aku dan orang-orang disekitar,
yang sibuk menjalankan aktivitas pagi di pekarangan rumah mereka di kagetkan
suara ledakan yang kuat, mirip suara mercun, ada juga mirip ke suara balon
meledak. Rupanya itu suara ledakan ban belakang kuda besiku. Sebelumnya ban
belakang itu kurang angin, dan kuisi di tempat temple ban di jalan sebelumnya.
Terlalu keras, ban itu jadi meledak.
Dan
karna ban itu jelas sudah tak layak pakai lagi, aku bersedia mengganti ban
baru. Aku merasa aman dan nyaman setelah semua jualanku laku, setelah sampai di
rumah dan pergi kesana kemari. Tapi malangnya umur ban itu, dia Cuma tahan
beberapa jam saja. Kini, siang ini aku harus menambah isi kantong si Ruslan
untuk mencukupi mahar ban baru, sebab ban yang tadi pagi baru diganti sudah
koyak dan sangat tak bisa di pakai lagi. Berhubung koyaknya ada di tangan
ruslan, tadi dia pinjam, dia yang mengganti ban yang tidak ku tahu apakah itu
bagus atau sama seperti yang ku beli tadi pagi.
Mudah-mudahan
besok aku baik-baik saja, dan jualanku laris agar aku tak merugi seperti hari
ini.
(01 Desember 2011, Jam
16:15)
Pagi
begitu cepat hangus, sedangkan semangatku hanya seperempat dari sinar mentari
yang menyiram tubuhku. Tapi aku tak menyerah, aku tetap mengikuti sinarnya.
Sampai aku menjumpai saudaraku itu di pukul Sembilan kurang, aku gembira hari
ini bersamanya. Candanya yang dulu belum luput dari ingatanku, kini dia semakin
sering memberikan nya. Dalam perjalanan kami menuju tempat mengumpulkan
sekantong semangat yang berlimpahan diatas jalan dan jembatan, kami tertawa
saling mengejek kejenakaan yang terlibat dalam perjalanan itu.
Dan
lain dengan yang menimpa ku hari ini, dan sebelumnya juga sudah sering terjadi,
namun aku kurang sadar apakah hal itu akan mencukur isi kantongku atau minimalnya
aku tidak sanggup mengikat uang-uang yang kukutip tiap harinya dibawah sinar
mentari. Dalam sehari ini aku sudah tiga kali mengganti sepatu kuda besiku,
maksudku kaos kakinya. Ini tidak sebanding dengan apa yang aku harapkan dengan
sebab perjalanan ini. Semoga besok tidak seperti ini, aku suntuk dan iba pada
diriku sendiri jika aku terus-terusan memanjakan kaki kudaku, memberikan
pelayanan lebih, seharusnya dia yang lebih melayaniku.
(05 Desember 2011, Jam
19:26)