Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 7

06.12.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 0 Comments »
  Di seberang jalan tiga pasang mata menatap ke arahku. Handphoneku bergetar, aku mendapatkan pesan singkat, dari Nindy. isi pesan itu “bisakah abang kemari, Nindy tunggu ya bang” aku mulai gugup, orang yang baru aku kenal kemarin sudah banyak membuatku merasa punya family baru. Aku pun pamit ke abang tadi dan menitipkan salam buat Tulang dan Nantulang.
   “ini lah Yah, Ma, bang Anju itu” kata Nindy memperkenalkan aku ke Ayah dan Ibunya. Tanpa ragu aku langsung menyalami keduanya walau jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Tak lama kemudian, beberapa pertanyaan keluar dari Ayah muda itu.
“dimana kampungmu nak?” Tanya dia membuka percakapan.
“di Tanjung, Uda” jawabku dengan mantap memanggil dia Uda. Uda adalah panggilan orang mandailing kepada orang tua yang lebih muda dari Ayah kita, dengan kata lain adik ayah kita. Trus bibirnya merapat, dan matanya diam sejenak, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“o, kalau tidak salah kampungmu bersebelahan dengan tempat pemandian itu ya, apa namanya, siraisan ya?”
“ iya Uda”
“trus satu fakultas sama Nindy?, satu jurusan juga ?”
“iya Uda, tapi beda tingkat, saya sudah semester empat, setahun diatas Nindy”
“o iya?, kalau begitu terima kasih ya nak sudah menemani Nindy, kemarin bapak sempat cemas dia tidak ada kawan pulang. Kawan-kawan nya sudah pulang duluan, dan yang kuliah di IAIN cuma dia sendiri. Kalau kemarin dia tidak dapat kawan pulang, bapak lah yang akan menjemput dia”
“tapi” sambungnya lagi
“karna kesana juga cukup jauh, cukup capek, makanya bapak suruh dia mencari kawan, biar bapak yang menanggung biaya ongkos dan makan nya di jalan, kamu bayar kan nak ongkos sama makan nya abang mu Anju” Tanya nya kepada putrinya itu. Dengan senyum Nindy  memandangku dan menjawab.
“iya Ayah”
“ngomong-omong nak Anju mau naik angkot?”
“iya Uda”
“bagaimana kalau bapak antar saja ke pangkalan”
“tidak usah Uda, terima kasih, tidak jauh kok”
“"biar kami antar saja nak, sekalian kami pulang" kata ibunya Nindy menguatkanku tuk menerima tawaran mereka. ku lihat nindy, dia ngangguk sebagai isyarat yang mengatakan agar aku mengiyakan nya.
   Aku membantu Nindy memasukkan tas cokelat nya yang gemuk ke bagasi, setelah menutupnya rapat aku dan dia masuk ke mobil besar itu. Dia masuk lewat pintu samping kiri belakang, duduk  berdampingan dengan Ibu dan kedua adiknya, aku membuka pintu samping kiri depan dan duduk disebelah Uda ku itu. mobil pun perlahan melaju menuju pangkalan angkot ke kampungku, berlawanan arah dengan jalan menuju kampungnya Nindy, dia ke arah timur sedangkan aku ke arah barat. Uda mengurangi kecepatan. Di depan ada simpang empat persis empat arah mata angin, Uda memutar setir ke kanan melewati pasar tradisional kota kecil itu, pasar tradisional terbesar yang kabupaten miliki. Pasar itu merupakan pusat perbelanjaan dari seluruh penjuru desa di kabupaten kami, dari semua arah mata angin. Sewaktu aku masih duduk di bangku Tsanawiyah (setara SMP) setiap hari Senin sepulang dari Sekolah Pagi aku dan teman-teman yang tinggal di pemondokan belanja di pasar ini. Aku ingat betul kenangan itu, kenangan tempat dan masa dimana aku belajar mandiri. Mulai dari memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, termasuk memanage keuangan, semuanya kulakukan sendiri. merebut waktu sekecil apa pun, berkelahi dengan huruf-huruf arab gundul, berpapasan dengan aturan-aturan pemondokan yang ekstra ketat yang belum lega dengan aturan yang satu sudah datang aturan berikutnya. Semua kegiatan memiliki jam yang diatur sedemikian rupa. Di pondok cuma ada tiga kegiatan, belajar, belajar dan belajar.
  Dari jam delapan pagi sampai jam satu siang kami disuguhkan pelajaran-pelajaran umum yang bercampur 40% pelajaran agama. Waktu satu jam setelah itu kami diberi kesempatan untuk makan, mandi, sholat dan istirahat beberapa menit sembari menyiapkan pelajaran Sekolah Sore. Sekolah Sore berkisar dua setengah jam, dimulai dari jam dua siang dan pulang di jam setengah lima sore. bermuatan pelajaran kitab kuning, atau yang sering dibilang dengan kitab gundul karena tulisannya tidak memiliki baris. Jam berikutnya semua santri sudah sibuk memasak lahapannya, makan, mandi dan sholat magrib berjama’ah di musholla. Ba’da magrib dijadwalkan baca qur’an, belajar mahraj bagi pemula yang belum bisa membaca qur’an dan belajar tajwid bagi yang sudah bisa, sesekali terdengar para qori di setiap kelompok mengajarkan lagu, begitu sampai kumandang adzan isya. Habis isya diluangkan waktu 15 menit bagi santri yang belum mengisi perutnya, termasuk waktu menyiapkan pelajaran Sekolah Malam. Sedangkan Sekolah Malam dimulai dari jam delapan lewat seperempat sampai jam sepuluh, dari senin sampai kamis. Untuk jum’at malam diadakan tabligh, dikenal dengan belajar berpidato. dan seperti baca qur’an yang dibagi menjadi beberapa kelompok, Acara tabgligh ini juga dibagi ke beberapa kelompok, berturut setiap minggu dari kelompok satu sampai seterusnya. Setelah jarum jam menunjukkan pukul 22:30 itu berarti tidak ada lagi santri yang berkeliaran, baik di kelas, dimushalla, atau di lapangan. Semua pintu pondok sudah harus ditutup dan tidak ada lagi suara. Jam empat pagi akan ada petugas yang menggedor tiap-tiap pondok sebagai bel tanda waktu subuh segera tiba, sholat subuh berjamaah di mushalla. Setelah berdoa petugas akan mengabsen. siapa saja yang tidak ikut sholat berjamaah akan mendapat hukuman, bila di dapati masih tidur alamatnya akan disiram ditempat, setelah itu melapor ke kakak kelas yang bertugas, dan memenuhi sanksi yang berlaku. Tidak jarang para santri yang tidak sholat berjamaah mendapat hukuman yang berlipat, mulai dari menyapu mushalla, mengutip sampah, push up dan mandi dengan syarat menghabiskan sepotong sabun cuci batangan. Bagi yang kedapatan mencuri itu jelas sanksi nya akan dibotak dan di keluarkan dari pemondokan secara tidak terhormat walau masih di izinkan sekolah. Begitulah kehidupan di pemondokan, keras dan tegas. Masih banyak lagi hal lain nya, yang jelas itu membuat aku dan semua warga pondok berusaha mandiri, punya asa dan cita-cita yang tinggi. Dan kini kenanganlah yang tertinggal. Dan itulah sedikit kisah tentang aku, pondok lamaku dan pasar tradisional ini.

  Kami sudah melewati jalan merdeka, jalan itu pertanda batas para pedagang sayuran dan buah-buahan. Lima puluh meter dari situ, mobil pun berhenti di depan sebuah toko Mas yang tampak nya belum mengganti cat tokonya setelah mengecatnya tujuh tahun lalu. Tepat di depan toko adalah pangkalan angkot ke kampungku, disana angkot disebut dengan B.U yang kepanjangannya adalah Bina Usaha, merupakan nama dari perusahaan jasa angkutan trayek Sibuhuan Kota - kampungku.
  sebelum turun aku menyalami lagi ayah dan ibunya nindy, tak kusangka Nindy malu-malu, dia mengajak adiknya menyalamiku.
“terima kasih Uda, Nanguda, Nindy. sampai jumpa dek fahmi, reza” kataku setelah menurunkan tas. Lalu mereka pun pergi meninggalkan ku. Bus-bus kecil berderet rapi menghadap barat, sopir-sopir nya duduk berebut bangku-bangku panjang dalam kedai kopi pak Safar, yang mempertahankan profesi dan usaha kedai kopinya sejak era 1990 an. Tapi tak satu bus pun yang berpintu belakang, semuanya memakai pintu samping, tertutup dan berjendela kaca. Sedang ketika ku tinggalkan dulu masih banyak bus yang berpintu belakang dan tidak memiliki dinding, hanya pipa-pipa besi yang di las yang digunakan sebagai rangka sekaligus penahan atap nya. Aku duduk di bangku tunggu yang sebenarnya bukan disediakan untuk para penumpang, tapi untuk pembeli di toko itu.
(bersambung ke hal 8)

0 komentar: