Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 6
01.26.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 0 Comments »
Lama-lama
kami sama-sama diam. Dan akhirnya aku merasa bersalah sekali atas ucapan ku
itu. Aku lihat wajahnya tidak seceria sebelumnya, selama beberapa jam duduk di
sampingku. Aku pun hanya berani memandangi layar handphone ku, mengotak-atik
nya, tapi sebenarnya aku tidak melakukan hal yang berguna, itu sama sekali
untuk menutupi ketidak nyamanan dalam hatiku. Sekarang dia lebih banyak menoleh
ke depan, tak pernah lagi kudapati ia mencuri pandang walau sekejap. Perasaanku
sangat tidak enak. Kursi yang kududuki tiba-tiba serasa panas, aku bagai anak
yang disiksa cacingnya sendiri, ini namanya salah tingkah. Untung saja bapak
yang dibelakangku sudah tidur, kalau tidak aku sudah di tegor nya dan akhirnya
itu membuat ku malu.
Jarum
jam bergerak cepat, secepat ke inginanku tuk segera berada dirumah. Matahari
mengintip dibalik bukit hijau yang biru dipandang mata. Cahayanya silau
memantul di jendela, aku merasakan kehangatannya, seimbang dengan suhu
perbukitan yang indah. Dua jam lagi kami akan sampai. Disamping ku seorang
gadis berjilbab abu-abu masih asyik dengan mimpinya, dia terlihat santai saja,
aku tak melihat dari sikap ataupun cahaya matanya melukiskan kerinduan pada
seorang ibu atau ayah. Pak sopir menghidupkan tape nya, terdengar suara artis
daerah mendendangkan lagu kesayangannya, aku tahu lagu ini dan hapal betul
liriknya. Alunan music dan lagu mengaduk suasana menjadi semakin ceria. Ya
ceria, sampai aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasa ceria itu.
Walaupun
aku kesal sama Nindy, tapi rasa bersalahku lebih besar dari kesal itu, dan pagi
ini aku ingin ia bisa tersenyum karena ku dan yang jelas memaafkan ku. Itu
sebagai ganti dari kesal dan salahku. Aku membangunkan dia.
“Nindy…,
dek Nindy, bangun..kita hampir sampai” pintaku sambil menggoyang – goyang
bahunya. Sebenarnya aku segan melakukan nya. Tapi dia sudah tidur cukup lama,
dan dia harus siap-siap turun dari bus yang sesak itu.
“mmm….iya, iya ..” jawabnya masih menutup mata.
aku memperhatikan cara nya mengumpulkan kesadaran. Bagai anak kecil yg bantal gulingnya di rebut oleh kakaknya, walaupun dia bilang “ya” tapi bulu matanya masih saja merapat.
“hei.., kita sudah sampai” kataku lagi membuka semangatnya.
“ha…???” dia langsung bangun, mata nya lari-lari kesana kemari. Dan berhenti di atas alisku. Mungkin dia terkejut karena bus sedang berhenti. Tapi tidakmungkin jika dia tidak tahu dimana tempat bus sedang berhenti. Lalu mukanya tampak kesal namun mengakhiri sebuah senyuman.
“hmm…abang bercanda” katanya dibalut senyum tipis.
“habis dek Nindy tidur trus”
“hehe..” katanya dan mengucek matanya dengan lucu. Trus dia ngomong lagi.
“kita sudah sampai dimana bang?”
“sampai di Sihiuk, paling lima belas menit lagi kita sudah sampai” jawabku, beberapa menit kemudian dia Tanya lagi.
“dari loket ke kampung abang, apa abang akan sendirian?”
“iya, dekat kok. Lagian kalau laki-laki tidak ada yang harus ditakutkan.” Kemudian aku menyambung lagi
“tapi abang tidak langsung pulang, abang singgah dulu di rumah tulang abang”
“dimana..?”
“tidak jauh dari loket, nanti aku tunjukkan”
“maaf ya bang atas apa yang membuat abang kesal sama Nindy, tapi Nindy hanya menuruti kata ayah.” Katanya menyimpang dari jalan fikiranku, aku heran dengan apa yang dia bicarakan. Sepertinya kata-kata itu tidak menyambung dengan kalimat yang baru ku ucapkan. Ternyata dia masih ingat dan mengerti kata-kata abstrak itu. Pada hal aku sudah melupakan nya.
“iya, abang juga minta maaf kalau ada salah” timpalku.
“ayah yang suruh Nindy bayar makan abang, tadi malam Nindy sms ayah dan bilang kalau kawan Nindy itu laki. Ayah tidak keberatan karena Nindy juga bilang kalau abang itu Nindy kenal dan sefakultas.”
“o begitu” balasku. Dia ngangguk sambil tersenyum mengamini pertanyaanku.
“mmm….iya, iya ..” jawabnya masih menutup mata.
aku memperhatikan cara nya mengumpulkan kesadaran. Bagai anak kecil yg bantal gulingnya di rebut oleh kakaknya, walaupun dia bilang “ya” tapi bulu matanya masih saja merapat.
“hei.., kita sudah sampai” kataku lagi membuka semangatnya.
“ha…???” dia langsung bangun, mata nya lari-lari kesana kemari. Dan berhenti di atas alisku. Mungkin dia terkejut karena bus sedang berhenti. Tapi tidakmungkin jika dia tidak tahu dimana tempat bus sedang berhenti. Lalu mukanya tampak kesal namun mengakhiri sebuah senyuman.
“hmm…abang bercanda” katanya dibalut senyum tipis.
“habis dek Nindy tidur trus”
“hehe..” katanya dan mengucek matanya dengan lucu. Trus dia ngomong lagi.
“kita sudah sampai dimana bang?”
“sampai di Sihiuk, paling lima belas menit lagi kita sudah sampai” jawabku, beberapa menit kemudian dia Tanya lagi.
“dari loket ke kampung abang, apa abang akan sendirian?”
“iya, dekat kok. Lagian kalau laki-laki tidak ada yang harus ditakutkan.” Kemudian aku menyambung lagi
“tapi abang tidak langsung pulang, abang singgah dulu di rumah tulang abang”
“dimana..?”
“tidak jauh dari loket, nanti aku tunjukkan”
“maaf ya bang atas apa yang membuat abang kesal sama Nindy, tapi Nindy hanya menuruti kata ayah.” Katanya menyimpang dari jalan fikiranku, aku heran dengan apa yang dia bicarakan. Sepertinya kata-kata itu tidak menyambung dengan kalimat yang baru ku ucapkan. Ternyata dia masih ingat dan mengerti kata-kata abstrak itu. Pada hal aku sudah melupakan nya.
“iya, abang juga minta maaf kalau ada salah” timpalku.
“ayah yang suruh Nindy bayar makan abang, tadi malam Nindy sms ayah dan bilang kalau kawan Nindy itu laki. Ayah tidak keberatan karena Nindy juga bilang kalau abang itu Nindy kenal dan sefakultas.”
“o begitu” balasku. Dia ngangguk sambil tersenyum mengamini pertanyaanku.
Bus
berhenti, seorang penumpang turun dari pintu depan. isi bus tinggal beberapa
penumpang, mungkin tidak sampai dua puluh lima kepala lagi. Sebagian sudah
turun di jalan, selebihnya akan turun diloket, termasuk aku dan Nindy. kami
hampir sampai. Ketika bus meminggir hendak masuk ke parkiran loket yang ada di
sisi kanan jalan, aku memandangi rumah bercat hijau muda yang halaman nya tidak
ditanami apa-apa, Nindy menyapaku.
“rumah tulang abang?”
“iya, tampaknya tidak ada orang dirumah itu”kataku ketika melihat pintu dan jendelanya tertutup. Hanya pakaian yang tampak bergantungan ditali jemuran. Bus berhenti. Satu kondektur meloncat meneriakkan aba-aba bahwa trayek habis, satu nya lagi naik ke atas dan menuruni barang-barang. Kami pun turun.
“tolong diamblikan tas kami bang, di bagasi ini” pintaku kepada seorang pembungkar muat barang yang menjadi pegawai loket itu. Aku mengambil tasku dan berjalan sambil menenteng nya, meninggalkan Nindy.
“Kalau begitu sampai jumpa ya Nindy, terima kasih atas kebaikannya” kataku lalu pergi. Tapi dia masih mengatakan sesuatu, aku berhenti dan menghadap mukanya, dia mendekat, lalu
“iya, saya yang lebih pantas mengatakan itu, terima kasih banyak ya bang. Kalau abang tidak keberatan abang bisa menunggu keluarga Nindy biar Nindy perkenalkan”
“oh, tidak usah, mungkin besok atau lusa ada waktunya” jawabku trus berpaling. Tapi lagi-lagi dia menghentikanku.
“o ya bang, masih ada yang ingin Nindy minta tolong. Itu pun kalau abang tidak keberatan juga” aku bingung. Dia senyum, lalu menunduk, lalu memandangiku, senyum lagi. Aku makin bingung, tapi aku berpura-pura paham apa arti senyuman nya, aku senyum juga.
“bisakah Nindy simpan nomor handphone abang?” katanya tampak malu-malu.
“o, boleh” lalu aku mengeja angka yang dia inginkan itu, dia begitu semangat. Sedangkan di belakangnya sepasang suami istri yang masih tampak muda turun dari sebuah mobil Toyota fortuner hitam, berjalan tepat di belakang Nindy. tapi aku tidak tahu mereka itu siapa dan ingin menghampiri siapa karena di samping kami ada beberapa orang yang sedaang menunggu. aku beranjak dan bilang
“udah ya dek Nindy. abang duluan” dia tidak menjawab karena mukanya menghadap ke arah dua anak laki-laki yang ku perkirakan baru berumur delapan dan sebelas tahun. Dan dia menghampiri sepasang suami istri yang muda tadi, mencium tangan nya. Lalu kedua anak kecil tadi juga melakukan hal yang sama ke dia. Bisa kutebak kalau itu keluarganya. Ak menyeberang jalan, dan sampai di depan pintu rumah tulangku itu. Aku mengetok pintu
“assalamu alaikum” ucapku berkali-kali. Namun jawaban hanya datang dari rumah yang disebelahnya.
“waalaikum salam. Dirumah tidak ada orang ju. Tulang sama nantulang mu pergi ke ladang, kakak mu belum pulang dari sekolah” kata abang yang bagiku mukanya tidak asing lagi karena kami masih ada ikatan keluarga, walaupun agak jauh.
“o..makasih ya bang” aku menuju bangku kayu di depan warung abang itu, dan meminta minuman gelas.
“biasanya tulang sama nantulang pulang jam berapa ya bang?” tanyaku berharap bisa menunggu mereka.
“sore, kalau kakakmu mungkin jam dua siang sudah pulang. Kalian libur ya?”
“iya bang, dua minggu bang”
“bujing baru tiga hari yang lalu dari sini”
“o.. di pestanya bang Soleh itu ya bang, kedengarannya banyak undangan nya ya bang?”
“iya, kan kakakmu itu kerja di kantor bupati, bupati nya pun datang lah”
“o iya bang?. Di tambah lagi abang itu di Koramil ya bang”
“iya, pakai upacara” katanya dengan semangat menceritakan hari pesta pernikahan abang Soleh, anaknya tulangku, cucunya opung yang adeknya opungku kandung, alias cucunya uda nya ibu, sama dengan ayah poso nya ibu. Mereka se keluarga memang orang-orang yang bisa di bilang berhasil. Semuanya sarjana, dua orang dari mereka menyandang magister, dan satu doctor yaitu abang yang paling tua yang sekarang tinggal di Jakarta. Dan mereka di kenal banyak orang karena berpengaruh di lingkungan kabupaten, belum lagi karena mereka memiliki kebun sawit yang luas dan ada dimana-mana, dan yang paling menyenangkan adalah mereka ramah. Dari situlah makanya disetiap mereka ada acara tidak pernah yang tidak ramai.
(bersambung ke hal 7)
“rumah tulang abang?”
“iya, tampaknya tidak ada orang dirumah itu”kataku ketika melihat pintu dan jendelanya tertutup. Hanya pakaian yang tampak bergantungan ditali jemuran. Bus berhenti. Satu kondektur meloncat meneriakkan aba-aba bahwa trayek habis, satu nya lagi naik ke atas dan menuruni barang-barang. Kami pun turun.
“tolong diamblikan tas kami bang, di bagasi ini” pintaku kepada seorang pembungkar muat barang yang menjadi pegawai loket itu. Aku mengambil tasku dan berjalan sambil menenteng nya, meninggalkan Nindy.
“Kalau begitu sampai jumpa ya Nindy, terima kasih atas kebaikannya” kataku lalu pergi. Tapi dia masih mengatakan sesuatu, aku berhenti dan menghadap mukanya, dia mendekat, lalu
“iya, saya yang lebih pantas mengatakan itu, terima kasih banyak ya bang. Kalau abang tidak keberatan abang bisa menunggu keluarga Nindy biar Nindy perkenalkan”
“oh, tidak usah, mungkin besok atau lusa ada waktunya” jawabku trus berpaling. Tapi lagi-lagi dia menghentikanku.
“o ya bang, masih ada yang ingin Nindy minta tolong. Itu pun kalau abang tidak keberatan juga” aku bingung. Dia senyum, lalu menunduk, lalu memandangiku, senyum lagi. Aku makin bingung, tapi aku berpura-pura paham apa arti senyuman nya, aku senyum juga.
“bisakah Nindy simpan nomor handphone abang?” katanya tampak malu-malu.
“o, boleh” lalu aku mengeja angka yang dia inginkan itu, dia begitu semangat. Sedangkan di belakangnya sepasang suami istri yang masih tampak muda turun dari sebuah mobil Toyota fortuner hitam, berjalan tepat di belakang Nindy. tapi aku tidak tahu mereka itu siapa dan ingin menghampiri siapa karena di samping kami ada beberapa orang yang sedaang menunggu. aku beranjak dan bilang
“udah ya dek Nindy. abang duluan” dia tidak menjawab karena mukanya menghadap ke arah dua anak laki-laki yang ku perkirakan baru berumur delapan dan sebelas tahun. Dan dia menghampiri sepasang suami istri yang muda tadi, mencium tangan nya. Lalu kedua anak kecil tadi juga melakukan hal yang sama ke dia. Bisa kutebak kalau itu keluarganya. Ak menyeberang jalan, dan sampai di depan pintu rumah tulangku itu. Aku mengetok pintu
“assalamu alaikum” ucapku berkali-kali. Namun jawaban hanya datang dari rumah yang disebelahnya.
“waalaikum salam. Dirumah tidak ada orang ju. Tulang sama nantulang mu pergi ke ladang, kakak mu belum pulang dari sekolah” kata abang yang bagiku mukanya tidak asing lagi karena kami masih ada ikatan keluarga, walaupun agak jauh.
“o..makasih ya bang” aku menuju bangku kayu di depan warung abang itu, dan meminta minuman gelas.
“biasanya tulang sama nantulang pulang jam berapa ya bang?” tanyaku berharap bisa menunggu mereka.
“sore, kalau kakakmu mungkin jam dua siang sudah pulang. Kalian libur ya?”
“iya bang, dua minggu bang”
“bujing baru tiga hari yang lalu dari sini”
“o.. di pestanya bang Soleh itu ya bang, kedengarannya banyak undangan nya ya bang?”
“iya, kan kakakmu itu kerja di kantor bupati, bupati nya pun datang lah”
“o iya bang?. Di tambah lagi abang itu di Koramil ya bang”
“iya, pakai upacara” katanya dengan semangat menceritakan hari pesta pernikahan abang Soleh, anaknya tulangku, cucunya opung yang adeknya opungku kandung, alias cucunya uda nya ibu, sama dengan ayah poso nya ibu. Mereka se keluarga memang orang-orang yang bisa di bilang berhasil. Semuanya sarjana, dua orang dari mereka menyandang magister, dan satu doctor yaitu abang yang paling tua yang sekarang tinggal di Jakarta. Dan mereka di kenal banyak orang karena berpengaruh di lingkungan kabupaten, belum lagi karena mereka memiliki kebun sawit yang luas dan ada dimana-mana, dan yang paling menyenangkan adalah mereka ramah. Dari situlah makanya disetiap mereka ada acara tidak pernah yang tidak ramai.
(bersambung ke hal 7)
0 komentar:
Posting Komentar