Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 5

09.41.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 0 Comments »

Perjalanan ke kampung menghabiskan waktu dua belas jam. dan uniknya bus yang bertrayek kesana hanya ada pada malam hari, tidak ada di siang hari, baik dari Medan ke kampung begitu pun sebaliknya. 
  Aku sudah merasa lapar, pada hal baru setengah perjalanan. aku memperhatikan se isi bus, semuanya tidur pulas, tak ada yang membuka mata kecuali aku, pak sopir dan kondektur depan. di bawah lampu yang redup itu, aku mengintip jarum jam yang mengikat lenganku, pukul tiga lewat tujuh belas menit. biasanya jam segitu bus sudah berhenti, para penumpang sudah istirahat dan makan. tapi sepertinya tempat peristirahatan bus yang saya tumpangi itu masih jauh di depan sana. aku hanya mengganjal perutku dengan beberapa teguk air mineral yang kubawa. aku berniat tidak tidur lagi agar aku jadi orang yang pertama keluar dari perut bus yang kenyang penumpang ini. bunga di tepi jalan terlihat girang setelah disiram embun pagi, bergoyang dan melambai-lambai bus bus yang hilir mudik, seakan berkata "sampai jumpa lagi'. aku tersenyum tipis melihat keramahan bunga-bunga itu. bulan mulai menjauh dari pandangan, tak mampu meninggalkan sedikit cahaya nya ke dalam bus agar aku bisa memeriksa dengan jelas sudah jam berapa. haah..."biarkan saja dia pergi" kataku dalam hati. kebun sawit dan karet yang hijau masih hitam ditutup malam. tapi aku dapat merasakan kesegaran hijau nya, seperti udara di kampung yang lama tidak ku hirup, sejuk tanpa polusi karena banyaknya asap kenderaan bermotor atau karena keberadaan pabrik-pabrik yang menjamur seperti di Medan sana. tapi aku tidak melihat bayangan bukit hijau yang menggambarkan bahwa daerah yang kulewati itu punya paru-paru yang sehat, jauh berbeda dengan kampung yang lama ku tinggalkan. namun aku tidak tahu pasti apakah dia masih kokoh dalam pendiriannya, atau sudah menjadi korban tangan-tangan jahil, di rusak atau di cemari keindahan dan kealamiannya, mudah-mudahan tidak begitu.
  Aku kembali mendengarkan musik. di Medan aku tak bisa leluasa melakukan hal yang sedang berlangsung itu. karena barang yang satu ini sudah menjadi barang keluarga dalam kos-kosan alias bisa dipake siapa saja. dan pada akhirnya selalu yang punya yang mengalah, dengan alasan "kapan saja bisa, kan kamu yang punya". itulah kata-kata yang tidak alfa dari semua bibir kawan se kos ku.
  Dua tiga lagu berhasil kudengar dengan baik, selebihnya aku tidak ingat lagi lagu apa yang masuk ke telingaku. aku lupa karena aku sudah menyandarkan kepala di kursi yang kurendahkan, aku tertidur.
Delapan jam sebelumnya aku sudah beritahu ibu bahwa aku sudah berangkat. Aku tahu ibu sudah bersiap-siap menunggu kepulanganku, dan besok ibu tidak akan pergi kemana-mana sebelum aku sampai di rumah, itulah kebiasaan ibu menyambut anak-anaknya sepulang dari perantauan, termasuk aku. Aku juga tahu kalau ibu juga merasakan apa yang aku rasakan, ingin segera bertemu, melepas kerinduan yang dalam, Tak terkecuali ayah dan adik-adik ku, tapi ayahku adalah ayah yang pendiam, tidak banyak pertanyaan dan komentar. Yang ia tahu hanya membanting tulang, seharian di ladang demi masa depan kami yang lebih terang. dia memang diam, tapi aku tau kalau di dalam hati ia selalu berdoa dan berdoa agar kami dapat membanggakan mereka setelah kami selesai dalam sekolah. Aku ingin membahagiakan mereka sekarang, esok dan seterusnya.
Bus terus melaju di jalan yang mulus itu, tidak lama kemudian antara sadar dan tidak aku merasa bus sedang goyang. Mungkin ada sedikit jalan yang berlobang, tapi sekali lagi bus goyang lagi, namaku di panggil beberapa kali, trus dari setengah sadar itu aku berusaha mengumpulkan kesadaran yang penuh. Aku mengucek mata dan membukanya perlahan, samar-samar ku lihat orang-orang turun dari bus tapi di luar masih gelap, aku menoleh kesamping dan betapa terperanjat nya aku di depan muka nya Nindy. Astaga, hamper saja aku menabrak pipi kanannya. Aku mencoba mengeluarkan suara namun aku selalu kalah, dia mendahuluiku.
“Sudah dua kali Nindy bangunin abang, tapi baru berhasil ke tiga kali” ucapnya.
“apa abang susah di bangunin?” tanyaku sekenanya.
“ iya, bus sudah cukup lama berhenti” dan “ abang tidak makan?” Tanya nya balik.
“iya, abang mau makan”

aku pun keluar dari kursi yang cukup empuk itu, Nindy membuntutiku. Aku merasa malu sekali pada Nindy, dan aku tahu dalam keadaan setengah sadar tadi itu dialah yang membuat aku merasa bus sedang goyang, usaha dia membangunkan aku.
Aku menuju kamar mandi, cuci muka, wudu dan sholat di mushalla. Dengan sedikit terburu aku masuk ke rumah makan resmi bus yang ku tumpangi itu. Aku menuju pelayan yang sedang menumpahkan bermacam kuah ke setumpuk nasi berpiring putih di tangannya, aku melihat di steling lauk sudah mau habis, hanya dua tiga macam lauk yang tinggal yang bisa kupesan. setelah memesannya aku memilih meja kosong di tengah yang diatasnya masih berserakan gelas dan piring. Tapi setelah punggungku kusandarkan di salah satu kursi, dengan cepat pelayan yang lain mengangkati barang-barang yang menimpa meja cokelat itu, me lap meja dan mengambil cerek dan gelasku. Aku memperhatikan rumah makan itu, tanpa sengaja pandanganku buntu di mukanya Nindy, dia juga memandangku dan tersenyum. Setelah membalas senyumannya aku mulai menyendoki nasi yang kuning karena disiram kuah kentang itu ke mulutku. Dia duduk sendiri, tidak ada tangan yang letak diatas meja kecuali tangannya sendiri. aku segan bila harus duduk di samping orang yang baru aku kenal, apa lagi dia itu perempuan, seperti Nindy. Walaupun sebenarnya aku menginginkan hal itu. Tidak, aku tidak boleh menginginkan hal seperti itu. Sebenarnya duduk di samping dia beberapa jam yang lalu juga membuatku segan karena sebelumnya aku tidak pernah duduk bersebelahan dengan perempuan selama itu. Palingan hanya beberapa menit saja, dan itu hanya penumpang angkot.
Karena dia yang lebih awal makan, maka dia pula lah yang lebih awal meninggalkan rumah makan daripada aku. Aku lihat dia beranjak dari kursi itu dan sekali lagi tersenyum padaku. Aku masih asyik dengan kuah kentang di piring kecil itu, tinggal beberapa suap lagi aku sudah selesai, dan Alhamdulilah aku sudah kenyang setelah menutup nya dengan segelas air hangat.
Ku hitung dengan pas, lima menit aku istirahat. Lalu aku meninggalkan meja dan menemui kasir yang duduk manis dipinggir pintu masuk rumah makan. Setelah ku jelaskan apa yang kumakan dan minum aku bertanya.
“berapa bu?” tanyaku. Kemudian ibu itu balik bertanya.
“Meja nomor berapa nak?”
“tiga”
“oh, meja nomor tiga sudah dibayar” katanya. pertama aku heran siapa orang yang baik hati yang tanpa memberitahuku kalau dia ingin membayar makan pagiku. Aku keluar sampai aku lupa bilang terima kasih pada ibu tadi. “mungkin ini Nindy” lirihku dalam hati. Pak sopir juga sudah keluar dari ruang makan khusus sopir yang diikuti dua kondektur nya yang ribut tanpa toa.
“Naik, naik…naik” seorang kondektur sudah standby dipintu masuk dan menghitungi para penumpang. bus sudah padat, tak satu kursi pun yang kosong, itu artinya semua penumpang sudah naik. kondektur meneriakkan kode nya, bus melaju perlahan.
"terima kasih atas kebaikannya, tapi seharusnya kamu tidak melakukan itu". ucapku. aku sedikit kecewa dengan apa yang baru saja terjadi.
   "iya, tidak apa-apa bang. itu biasa kok" jawabnya tanpa merasa kalau aku kurang suka dengan hal baik yang ia berikan. aku menyangkal nya.
   "tapi tidak selamanya kebiasaan baik dapat berterima dengan baik" kataku. kata-kata yang sedikit abstrak, aku ingin dia mengerti apa maksudnya. trus kusambung lagi.
   "kadangkala yang putih itu bisa di tolak, bukan karena ia mudah kotor. tapi karena tidak ingin ia kotor. sekali kita bersihkan, akan jadi kebiasaan tuk membersihkannya. kotoran bisa di identikan dengan kelemahan walaupun putih itu tdk mengetahui bahwa sebenarnya kotoran itu membalut putih, dan selagi sanggup orang akan selalu menghindari kotoran" lagi kata-kataku yang abstrak. jujur. aku sendiri sulit menjelaskan bagaimana kandungan kata-kata itu. tapi itu adalah logat ku yang keluar secara murni dari hati ku yang kecewa hanya karena merasa isi dompet nya diperhitungkan perempuan yang baik hati.
Dia diam tanpa kata. aku tidak tahu apa dia mengerti maksudku atau bingung karena sebaliknya.
(bersambung ke hal 6)

0 komentar: