Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 3
07.35.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 0 Comments »
“hehe.., di kampus aku masuk UKK, di LKSM, tau LKSM kan ? “
“Ya Nindy tau kak, Nindy tau kalau kakak ngekos di Gg.Pelajar, dulu kakak pernah jadi anggota Mapala di semester awal, yak an?” diam-diam dia sudah kenal aku. Tapi dari mana ia bisa tau ? sedang aku termasuk mahasiswa yang pendiam, yang taunya Cuma kuliah, organisasi dan seminar-seminar penting. Begitu pertanyaan yang timbul di benakku setelah mendengar pengakuan gadis yang berada di sampingku itu.
“Sibuhuan.. Sibuhuan.., naik..naik.” suara kondektur menghentikan percakapan kami. Kami saling berpandangan, serentak kami mengambil tas dan menggotongnya ke bus. Ransel bisa kami bawa ke dalam bus, sedangkan koper dan tas nya yang gemuk itu terpaksa harus masuk ke dalam perut bagasi. Aku meminta kondektur memasukkan nya, melihatnya mengatur posisi tas kami agar jangan sampai ditimpa barang lain, apalagi barang paket kiriman yang bisa dibilang adalah benda-benda berbau dan berat, semisal solar dan pupuk.
Selesai mengurus koper dan tas kami itu aku pun bergegas naik. Tapi rupa-rupanya dia sedang menungguku, berdiri di dekat pintu memegang selembar kertas. Sambil naik dia memberikan kertas itu padaku.
“Ni tiket kita kak untuk dua kursi, terserah kakak mau duduk dimana, tinggal pilih.”
“Kayaknya kita termasuk di depan ni ya ?” kataku menyimpang.
“Ya kak, tadi ayah telpon kemari. Dan minta dua kursi di depan. Ayah kenal sama orang-orang di loket ini, ada juga yang family, tuh “ jawabnya menunjuk seorang lelaki yang menurutku dari wajahnya sudah berkepala empat, lalu laki-laki itu sibuk menggoyang-goyangkan pulpen nya, sesekali ia menggunakan pengeras suara mengingatkan para penumpang. Tapi tak kalah sering ia membanting stempel ke muka-muka kertas-kertas yang di gunakan sebagai tiket. Dari dalam bus aku melihat mukanya berminyak, dia sedang keringatan, lelah.
“Kami masih berdiri saling mengutamakan, saya bersikeras, dia juga.”
“kakak aja yang milih, mau dari jendela atau dekat lintasan terserah kakak.”
Akhirnya aku memilih duduk di dekat lintasan, tapi tetap dekat dengan dia. Aku ingin dia tidak pengap. Kalau dia duduk dekat jendela dia akan lebih leluasa menghirup udara segar. Trus aku ingin dia terjaga, tidak diganggu penumpang lain atau kondektur yang biasa iseng.
Pedagang tentengan bolak-balik naik bus. Mulai dari penjual sate, kacang rebus, keripik, minuman, sampai pulsa. Mereka bebas berjualan walau sudah dilarang petugas loket. Tapi begitulah hidup, bermacam profesi dan perjuangan. Mungkin itu jalan satu-satunya buat mereka untuk tetap bertahan. Dan aku lihat hidup memang kejam.
“Tiga menit lagi bus akan berangkat” suara kondektur depan. Lima menit sebelumnya mesin bus sudah menyala. Sekarang sang sopir sudah duduk di kursinya, aku merasakannya, dia memasukkan gigi. Perlahan bus keluar dengan bantuan juru parker loket. Juru parker itu sukses mengamankan jalan dari pengendara-pengendara yang rakus dan suka mengebut. Hingga bus kami itu melaju sesuai jalur. Lewat jendela aku mengintip lampu-lampu kota, tak ada yang pedulikan kepergianku. Tapi jauh diatas sana, sekawanan bintang mengekori bulan, tersenyum melambai-lambai. Aku tak berniat untuk tidur, karena sebelum berangkat kuliah tadi pagi aku sudah memuaskan bantalku hingga tiga jam. Aku ingin meleawatkan mimpi-mimpiku mala mini, menggantinya dengan menelusuri jalan, memandang tiap kota dan desa yang kami lewati. Begitu pun dengan hutan sawit dan hutan karet milik Negara yang rapi di belah jalan. Bus baru tiga menit berjalan. Dia, Nindy sesekali mengawasiku dengan matanya yang berbulu lentik itu, dan Aku tau dia melakukan itu.
“Bus sudah berjalan. Semoga kita selamat sampai tujuan dan semoga perjalanan kita menyenangkan. Izinkanlah saya menghibur suasana perjalanan anda. Jreng…Mengapa kau pergi.., mengapa kau pergi..Disaat aku mulai mencintaimu..” seorang pengamen berdiri di lintasan, memainkan gitarnya.
(bersambung ke hal 4)
(bersambung ke hal 4)
0 komentar:
Posting Komentar