Kau Datang Disaat Ku Pulang, hal 4

09.58.00 Posted In Puisi dan Cerpenku Edit This 0 Comments »
Dia berjalan sambil bernyanyi diantara penumpang, kemudian dia mengulurkan sebuah gelas plastic aqua ke para penumpang, aku pun tak terlewatkan. Aku mengeluarkan dua lembar uang yang terselip di kantong celanaku, aku tak tahu berapa nilai uang itu karena aku tidak melihatnya dengan jelas disebabkan lampunya yang kurang terang. Yang pasti itu dua lembar.
Setelah bus berada di persimpangan Terminal Terpadu Kota, pengamen itu pun turun lewat pintu belakang. Bus kembali melaju ke arah barat. Aku mengambil ranselku yang ditelan bagasi tepat di atas kepalaku, Membuka resleting nya, trus tanganku meraba-raba ke dalam, aku mengeluarkan mp3 sebesar jempol tangan dengan headset putih yang biasa digunakan untuk headset PC. Aku sudah berniat mendengarkan music. Tapi dengan cepat suara dari sampingku menghentikan niat itu.
“Silahkan ambil kak, tadi Nindy sengaja beli yang besar, takut yang kecil kurang.” Katanya menyodorkan keripik kentang berbungkus besar.
“Ya, makasih” ucapku lalu mengambil nya. Trus.
“O iya, hamper lupa, ni uang untuk tiket aku tadi Ndy” masih suaraku.
“Sudah, kakak simpan saja”
“Gak Ndy, ini untuk ongkos aku”
 “Sudah kak, simpan saja. Kemarin Nindy sudah siapkan uang untuk ongkos dua orang. Dan itu Ayah yang bilang, asal ada kawan Nindy untuk pulang”
“Ya, tapi biarpun gitu, aku ingin Nindy menerimanya, sebagai tanda terima kasih”
“Sudah kak, kakak simpan saja” dia tetap tidak mau menerima. Dengan sedikit kesal aku mengatakan :
“Ya kalau gitu makasih Ndy”
“Ya, sama-sama kak.” Balasnya.
Bus sedang melewati Pasar Bengkel, pasar atau tempat dimana biasanya orang-orang membeli ole-ole, baik itu penumpang bus, begitu juga dengan mobil pribadi, atau siapa saja yang lewat yang ingin membawa ole-ole untuk pulang. Tapi tak jarang juga orang membuat ole-ole itu untuk makanan di dalam perjalanan. Ole-ole atau jajanan yang disediakan para pedagang di pasar bengkel itu juga bermacam-macam. Mulai dari dodol, aneka keripik, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan semua jajanan itu adalah hasil industry rumah masyarakat di situ, hamper setiap rumah menjual hasil buatannya.  Aku sedang melihat-lihat deretan kios mereka yang panjang itu dari kaca depan. Ketika aku sedang asyiknya, lagi-lagi suara dari dekat menyela keasyikan itu.
“Kakak tidak melamun ?”
“Ya, gak, aku lagi lihat-lihat keluar”
“ohh.., kakak kedinginan ?, ada bawa sweater?”
“ada” jawabku. Kemudian aku membuka resleting ransel, lalu mengeluarkan sweater ku yang kuning itu, trus membalutkannya ke tubuhku yang ramping. Setelah itu aku melanjutkan percakapan.
“O ya, Nindy semester berapa? Aku lupa “ aku mencoba mencairkan suasana. Pura-pura  sudah pernah tau dia semester berapa.
“Sekarang Nindy semester dua kak, dan besok masuk semester tiga”
“Ngambil jurusan apa?”
“Sama dengan kakak, Ekonomi. Tapi Nindy ambil Manajemennya kak.” Jawabnya santai. Kemudian aku menyambung nya lagi.
“O.., belum ada masuk Organisasi Intra Kampus?”
“Belum kak, rencananya di semester besok mau ngikutin kakak?”
“Maksud nya?”
“Mau masuk LKSM juga kak, karena Nindy menilai organisasi itu cukup menarik, unik, tapi santai.”
“Oo, ada kawan atau orang yang Nindy kenal di situ?”
“Ada, nama kakak itu Anju.” Candanya menatapku tanpa ragu.
“Ah Nindy bisa aja becanda. Yang lain?”
“Yang lain gak ada kak.”
“Jadi kalau ekstra nya?”
“Itu pun belum ada kak, Nindy baru masuk di organisasi daerah kita aja kak”
“Organisasi daerah kita ?, aku gak ngerti maksud Nindy . daerah Nindy maksud nya Nindy ya?”
“Ya ampun kak, daerah kita kak, kakak juga anggota HIMPAS kan?” dia balik tanya.Tapi pertanyaan itu dikubur kebingunganku dan menimbulkan pertanyaan baru dikepalaku. seketika itu aku sadar bahwa mungkin saja dia bisa mengenalku lewat organisasi daerah kami, dan seketika itu juga ku ingat kampong dia berasal, juga  saat kami sedang berkumpul di secretariat. Ketika itu dia datang bersama Mislah dan memperkenalkan diri nya sebagai anggota baru, malam itu beberapa kawan sempat berbisik tentang kemanisan rupa nya, dan dengan setengah berbisik ada juga yang mengatakan jatuh cinta padanya, walau dalam hati aku juga mengatakan hal itu. Tapi kenapa waktu bertemu di kampus tadi sore aku tidak mengingat nya?. Kenapa baru sekarang ku mulai memikirkan siapa dia dan darimana ia mengenalku, lagi aku bingung. Namun aku yakin gadis di malam itu adalah gadis yang sedang duduk disampingku sekarang ini. Dalam sisa kebingungan yang masih lengket dikepalaku, tanpa berfikir aku langsung menjawab pertanyaan yang ingin meyakinkan itu.
“Ya”
“Terus kenapa kakak bingung ?”
“Aku baru ingat kalau sebelumnya pernah bertemu dengan Nindy, waktu pendaftaran anggota baru, malam itu Nindy duduk disamping bendahara umum kita, kak Rahma. Sejak itu aku tidak pernah melihat Nindy lagi. Kenapa?
“Kadang aku sibuk mengerjakan tugas kuliah kak, tapi tak jarang juga absen karena sakit. Karena banyak ketinggalan info Nindy malu hadir. Insya Allah semester depan Nindy akan berusaha agar bisa ikuti schedule nya”
“Oh, itu tidak masalah. Sebagian juga tidak tau berita-berita di sana tapi ia usahakan hadir, itu baik”
“Iya insya Allah gak akan absen lagi kak.” Balasnya. terus kepalanya menunduk seperti orang bersalah dan menyesali perbuatannya, kemudian ia menatap ku senyum dengan mimic yang meggambarkan seakan-akan dia ingin berterima kasih atas tegoran halusku itu. Walau aku tak melihat kantuk di wajahnya, aku mempersilahkan dia untuk istirahat, tidur. Karena aku tau kalau terus-terusan mengajaknya ngobrol ia akan lelah, dan aku takut besok sampai di rumahnya dia kecapaian, lebih baik aku biarkan saja dia berlabuh dalam mimpinya, merasakan hangatnya pelukan sweater cokelat yang membalut tubuhnya.
“Nindy tidur saja, tidak baik kalau terus-terusan menahan kantuk”
“ya kak, tapi Nindy belum ngantuk kak Anju”
“Oh..”
“O ya kak, kakak punya pacar?” kata dia sekenanya. Aku terkejut sesak. Tiba-tiba jantungku berdegup cepat, mukaku pucat, bibirku membeku, dan telingaku memerah tak ubahnya jambu mawar. Tapi untung lampu di dalam bus itu prihatin dengan situasi yang kualami, hanya memancarkan sedikit cahaya nya dan tidak menampakkan muka merahku. Dengan sedikit bergetar, bibirku mencoba untuk menjawab pertanyaan nya.
“Aa…, gak”
“Aa..tapi pernah pacaran kn.” Lagi jantungku deg-degan, bibirku sudah gemetar, aku merasakan nya.
“Bb..bbelum pernah” itu jelas suaraku serak. Aku yakin dia juga tau.
“Kok bisa kak? Kalau jatuh cinta bagaimana ?”
“Aa..Kalau itu pernah, tapi a..aku belum pernah mengungkapkannya..”
“Kenapa bisa kak?”
 “Aku takut perasaanku tak berterima di hati yang ku cintai itu” aku mencoba memberanikan diri
 “Apakah tidak lebih baik jika perasaan itu keluar ?, menghirup kebebasan memilih dan memiliki ?” “Aku kurang yakin” pasrahku
 “Kalau kita yakin dengan apa yang kita kasih, hasilnya pun akan meyakinkan, percayalah kak jika kita terus memendam nya akan membuahkan penyesalan dan keresahan.”
 “Ya, mudah-mudahan aku sanggup mengungkapkannya” perlahan aku bisa mengikut alur suasana.
Bibirnya mengembang menghadap aku, aku merasa malu. Sepertinya dia senang dengan janjiku itu. Aneh tapi senang dengan perlakuannya. Andai saja dia menanyakan kepada siapa aku jatuh cinta, aku tak ragu mengatakan kalau dialah gadis itu. Tapi agaknya aku kalah kalau harus aku yang lebih dulu mengutarakan. Sungguh, aku bukan tipe lelaki yang berani dan mudah mengatakan cinta. Malah sebaliknya, lelaki yang pemalu dan lugu. Bagiku masalah cinta bukan masalah yang mudah. Menurutku perasaan yang satu itu harus dijaga dan dirawat agar tetap utuh dan suci, agar tetap sempurna. 
malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 23:10. suara angin yang di lawan bus menghembus telingaku. aku tidak melihat dia menemukan kantuknya, masih tegar dan bahagia, entah itu karena ia mendapat sms manis dari seseorang atau karena tak tahan menunggu sampai dirumahnya. dia senyum diatas handphone nya dan jarinya sibuk kesana kemari menginjak tombol-tombol yang rapat tapi banyak itu. aku, aku masih menghadap jendela yang pentilasinya disumbat gorden, karena takut kedinginan aku menutupnya rapat. headset melingkar di leherku, ku coba memanfaatkan nya. sekarang aku mendengarkan aisyah mendendangkan "fatwa pujangga", perlahan mataku mulai berat dan aku tidak tahu memulai tidur dari mana, aku lelap. (bersambung ke hal 5)

0 komentar: