Noto hal 6

05.58.00 Edit This

   Mestinya pagi ini aku sudah ada di rumah, menjalankan rutinitas seperti biasanya. Kalau pengakuanku ke mereka aku tetap kuliah, termasuk hari ini. Tapi apakah mereka sudah tau kebodohan yang aku buat ? atau adakah mereka sudah tak peduli lagi denganku sehingga sampai saat ini telpon dan sms tak datang-datang menjemputku ? mudah-mudah an mereka sudah tau, apa pun yang kan terjadi aku sudah siap menerima nya. Sebenarnya aku malu, tapi aku tak kuat jika harus kembali ke kampus biru lagi. Aku seperti baru saja membanting tulang, memundak beban seberat 50 kg setiap hari, lelah. Otak ku juga begitu setiap hari nya, pusing memikirkan ketidak blance an laporan keuangan perusahaan yang aku kerjakan, lelah. Tapi sama sekali itu hanya perasaan, faktanya tak selembar pun kertas kerja yang ada di mejaku. Aku pusing, lelah, dan ingin bebas.
(06 Oktober 2011, Jam 06:24)
   Hari ini aku beranjak tanpa sarapan, memang langkahku pun tidak jelas, yang penting aku pamitan ke ibu sama abang. aku keluar lewat pintu belakang, alasannya dari sana lebih dekat ke simpang, tempat menunggu angkot. di depan warung yang masih tutup itu aku dengan setianya menunggu angkot merah itu. ingin rasanya aku berterus terang saja ke mereka, daripada menuang harapan yang tak jelas alamatnya. janjiku aku pulang jam empat sore, bagaimana aku bisa memanfaatkan waktu se singkat itu untuk sia-sia? dimana akan aku habiskan? untuk apa? dan sekarang aku duduk di depan monitor 23", memanjakan mata dan fikiranku, sedang jemariku asyik menari-nari mengikuti jalan fikiranku. tadi pun aku hanya memaksakan kehendak mereka, bukan atas dasar kesadaranku. begitu juga dengan tas hitam yang kubawa, tak ikhlas dengan perlakuanku. mengisi perutnya dengan buku tipuan, yang seharusnya ia kenyang dengan diktat, note dan makalah yang selalu hadir hampir setiap hari. jangankan untuk berkomentar, berdiskusi, atau persentase panjang lebar soal kekuatan ekonomi indonesia. mengintip aktivitas kampus lewat jendela portal yang ada saja aku tak ingin. apakah aku harus bertengkar dalam hal ini, agar keinginanku bisa terpenuhi dunia. aku yakin mereka tidak akan mengizinkan kebebasan yang ku pilih. jika pun izin, tentu menyisakan luka dan duka di keluargaku. 
   Andai saja isi kantongku lebih dari satu setengah juta aku sudah meninggalkan kota ini. tapi aku kawatir itu tidak akan bertahan lama. skill yang bisa ku andalkan hanya kerajinan dan kebersihan. apakah itu berguna untukku? apakah itu cukup syarat hidup di tanah orang? tapi kadang aku berpikir bahwa hidup itu bukan hanya pilihan dan pengabdian, hidup itu juga berwujud pembelajaran, laboratorium yang maha lengkap, ruangan yang tak pernah kosong akan ilmu dan aneka buku pedoman.dan seperti falsafah yang sudah menjamur "pengalaman adalah guru yang terbaik" itu benar. dan kalau memang pengakuannya begitu, buat apa banyak teori? kenapa tidak langsung saja ke praktek. tentu itu akan lebih mudah di ingat dan cepat di mengerti. alasannya mungkin teori di buat untuk jawaban orang tanpa skill di bidangnya.
(11 Oktober 2011, Jam 11:36)
  Dalam waktu jangka pendek, sepertinya kebodohan itu akan ketahuan oleh mereka. seperti pertanyaan yang keluar dari bibir abang tadi pagi sempat mengancam mentalku, aku tak tahu harus menjawab apa, tapi kebiasaan berbohong lebih cepat menutupi pertanyaan itu. tak ada yang perlu ditakutkan, walau berimbun masalah di kepalaku, slalu ku bawa ke enjoy, seperti saat sekarang ini aku hidangkan musik favoritku di warnet. sesekali masalah itu aku hanyutkan di tiupan angin sore. kadang malam, dan kapan saja masalah itu mulai terbit. secara tenang aku mengabaikannya.
  Kemarin dia menuliskan sesuatu di dinding facebookku, sory aku sombong. tak bisa mengomentari pesanmu itu. aku lebih senang bermain empires & allies ketimbang harus menuruti arti kata sapamu itu. lagian antara kita sudah tak menyimpan perasaan yang indah-indah lagi. kita lebih suka mengabaikan keindahan di depan mata kita daripada melewatinya bersama kesulitan, bersama perasaan yang terkadang hambar, bahkan pahit tuk ditelan. memang sulit mengakui kejahatan hati, apa lagi kejahatan itu lebih mirip dengan kasih, dengan ketampanan, juga dengan materi yang cukup menggiur. siapa pun tentu akan memilih yang demikian, sedang sebaliknya wajar di tinggalkan, boleh juga harus di tinggalkan. tergantung bagaimana keputihan hati yang menjawab. aku tidak kecewa tidak mendapatkan apa-apa darimu, jika kasihmu selama ini tulus, aku bersyukur, dan itu lebih baik. 

  Pernah aku menemukanmu di ujung gang menuju rumahmu, ketika itu kamu masih mengenakan seragam abu-abu mu. agak pelan aku keluar dari gang itu, dan nyanyianku berhenti seketika melihatmu. tapi tetap saja aku dapat menyambung nyanyian itu tanpa gugup. dan membelokkan stang kreta ke kanan. santai tapi pasti. seakan yang kulihat itu bukan kamu. 
(15 Oktober 2011, Jam 12:38)
  Sedikit rasa takut yang kusimpan, akankah aku tetap berterima di samping abang sebagai saudara kandungku? atau mungkinkah nanti, besok atau lusa aku terabaikan dari status itu karena sekarang dia memiliki tugas dan tanggung jawab baru, yang lebih penting dan lebih fokus tuk ia fikirkan, istrinya. bukan aku mengiba, tapi sepertinya aku perlu memikirkan ini. walau aku, ibu, dan mereka semua menilai 90 untuk kebaikan kakak ku itu. aku masih gamang akan ada hal yang membuat hati putih nya jadi keruh, atau sedikitnya dahinya mengerut ketika aku butuh senyuman dan sapaan seorang kakak ipar. mudah-mudahan tidak ada perubahan akan itu semua. semoga semuanya akur, semoga rumah tetap bersih dari pertikaian, baik antara aku dengan mereka, ataupun mereka sendiri dikarenakan aku. kalau aku, memang kadang merasa janggal tuk meminta bantuan atau pun semacam nya tuk aku. aku lebih banyak menghabiskan energi dan kantong abang dibanding dia, kakak. walaupun sebatas meminjam, yang pada hal nya akan kembali. tapi aku tidak begitu. aku satu ketakutan, tidak banyak komentar dan permintaan. yang ku tau hanya bermimpi dan tidak membuat beban di kendaraan orang apa lagi meminta untuk memundak nya.
(18 Oktober 2011, Jam 13:40)